BELAJAR DARI UMAR BIN ABDUL AZIZ

Ketika itu ada seorang anak muda yang menjadi idola seluruh anak muda yang ada di kota Kuffah, baik laki-laki maupun perempuan, namanya, Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz ini terkenal di seantero penjuru negeri pada saat itu. Wajahnya yang tampan, fisiknya yang gagah, ilmunya yang luas, juga menjadi keturunan bangsawan dan berada di lingkungan kekhalifahan Bani Umayyah.

Setiap laki-laki ingin agar bisa seperti Umar bin Abdul Aziz, sementara setiap wanita berharap dia akan menjadi istri dari Umar bin Abdul Aziz ini. Lalu akhirnya, pemuda yang gagah, hebat, takwa, cerdas, pandai, kaya raya ini, juga menikah dengan wanita yang teragung pada masanya, namanya Fathimah binti Abdul Malik. Wanita ini putri dari khalifah, cucu dari khalifah, dan empat orang saudaranya juga adalah khalifah.

Lalu mereka pun menjalani kehidupan rumah tangga mereka dengan luar biasa. Saking tersohornya Umar bin Abdul Aziz bahkan gaya jalannya itu menjadi mode tersendiri di kota Kuffah. Parfumnya, parfum yang terbaik. Pakainnya, pakaian yang terbaik. Pendidikannya, pendidikan yang terbaik. Lalu akhirnya semuanya itu berubah ketika dia diangkat menjadi khalifah.

Saat Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin kaum muslimin pada saat itu, kehidupannya berubah seratus persen. Tidak ada lagi penampilan yang hebat. Tidak ada lagi keindahan dunia. Semuanya berganti. Sampai-sampai sahabatnya pada waktu itu, bernama Muhammad bin Ka’ab al Kurdi mendatanginya.

Saat berhadapan dengan Umar bin Abdul Aziz dia terdiam, lalu memandang dengan heran. Umar bin Abdul Aziz pun bertanya “kenapa engkau memandangku seperti ini wahai ibnu Ka’ab?” “Ta’ajjuban ya Amiral Mukminin” takjub dan heran wahai amirul mukiminin. “Kenapa engkau takjub?” “Ya, saya takjub melihat perubahan yang sangat drastis seperti ini. Kulitmu yang dulu mulus, sekarang berwarna kekuning-kuningan. Fisikmu yang dulu gagah, sekarang kurus dengan rambut yang tidak terawat.”

Umar bin Abdul Aziz tersenyum, kemudian berkata, “engkau pasti akan lebih heran lagi, akan lebih takjub lagi, saat melihatku tiga hari setelah aku dimakamkan. Fisikku, tubuhku ini akan hancur dimakan ulat. Wajahku menjadi tidak beraturan, dan pada saat itu tidak ada yang bisa menemaniku kecuali amal yang aku lakukan selama di dunia.

Rasa rindu kepada akhirat, selalu ingat mati, inilah yang dibawa oleh Umar bin Abdul Aziz. Ketika masa muda, memang tidak ada yang salah dengan penampilannya. Semuanya masih berada dalam koridor syariat. Tetapi, ketika beliau menjadi khalifah, semuanya berubah. Dia semakin dekat kepada Allah Swt. Sepanjang malam dia habiskan dengan tahajjud dan menangis di mihrabnya, mengingat besarnya amanah menjadi khalifah yang dipikulkan kepadanya.

Rasulullah Saw mengingatkan kepada kita, “matsalud dunia kamatsali ahadikum masya ilal yam” perumpaan dunia seperti seorang yang di antara kalian datang ke lautan, kemudian dia celupkan jarinya. Apa yang menempel di jari itulah dunia, sementara lautan yang tersisa itulah akhirat. Artinya apa, “fa ma mata’ul hayatid dunia fil akhirati illa qalil” sungguh, tidak ada mendingan kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat itu, kecuali sedikit saja, tidak berarti apa-apa.

Lalu, apabila saat ini di hati kita, mulai ada keinginan untuk dipuja dan dipuji. Mulai ada hasrat untuk masyhur, untuk populer dikagumi oleh banyak orang. Mulai ada keinginan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, rindu kepada jabatan yang tinggi, penghormatan dari orang lain, diagung-agungkan oleh manusia. Ingat, ingatlah dunia ini bahwa tidak ada artinya sama sekali dengan kehidupan akhirat.

Ada kehidupan setelah mati, ada akhirat setelah dunia. Ingatlah, bahwa kita hanya sementara dalam kehidupan ini, dan yang akan bermanfaat hanyalah amal yang kita lakukan sebagai persiapan untuk kehidupan yang panjang.

Leave A Reply

Navigate