Ribuan tahun yang lalu, di tanah kering dan tandus, di kegersangan kawasan yang meranggas, di atas bukit-bukit bebatuan yang ganas, sebuah cita-cita universal ummat manusia dipancangkan. Nabi Ibrahim Alaihissalam, Abul Millah, dan cita-citanya yang kelak terbukti melahirkan peradaban besar. Cita-cita kesejahteraan lahir dan batin.
Jutaan manusia kemudian mencoba merefleksikan makna tersebut pada berbagai bentuk ritual yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dari berbagai etnik, suku, dan bangsa di seluruh penjuru dunia, mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil, sebagai refleksi rasa syukur dan sikap penghambaan mereka kepada Allah SWT. Sementara itu, pandemi memaksa jutaan yang lain terhalang memasuki Tanah Suci Makkah, untuk melaksanakan rukun Islam ke lima.
Jika kita merindu Makkah, sesekali abaikanlah bayangan tentang gedung-gedung yang menjulang gagah, juga jam raksasa yang berdetak mengabarkan kian dekatnya saa’ah. Tapi biarkan khayal itu menyusuri bukit-bukit dengan kerikil pecah, yang di tengahnya dulu terjepit sebuah lembah. Di situlah semua bermula, dalam doa di dekat bangunan tua yang tetap terjaga bersahaja.
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, telah kutempatkan sebagian keturunanku di lembah tak bertanaman di dekat rumahMu yang dihormati. Ya Rabb kami, agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia merundukkan cinta pada mereka, karuniakan pada mereka rizki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Mereka yang kini telah menjadi sejarah itu, memulai semuanya dengan keyakinan pada Penggenggam Alam Semesta, bahwa hidup prihatin adalah agar sandaran jiwa raganya hanya kepada Allah pemilik kuasa.
Bayangkanlah kecamuk perasaan seorang istri yang ditinggalkan beserta bayi merah oleh sang suami, di tempat yang harapan hidup dalam nalar manusia sungguh nihil kiranya. Tiga kali dia mengejar lelaki yang tak sanggup berkata-kata itu dengan tanya, “Mengapa kau tinggalkan kami di sini?”, “Mengapa kau tinggalkan kami?”, “Mengapa kau tinggalkan kami di sini wahai Ibrahim?”
Dan semua baru jelas ketika dia mengganti pertanyaan menjadi, “Apakah ini perintah Allah?”
Ibrahim pun menjawab: “Ya.”
“Jika ini perintah Allah”, Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami.”
Perasaan imani wanita ini, yang diperjuangkan mengatasi emosi-emosi; kecewa, takut, galau, sedih, dan cemburu menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban hanifiyyah. Tanpa ucapan Hajar ini, kita tahu; lembah Mekkah tetap akan sunyi, tak ada lari bolak-balik tujuh kali mengenang pembuktian iman di tengah terik mentari yang memanggang pasir dan batu menyengat kaki, dengan sisa tenaga seorang wanita yang air susunya kering dan bayinya menangis kelaparan.
Duka Ibrahim yang berulang, ketika buah hati belahan jiwa, yang dinanti hingga menua, harus ditinggalkan, lalu ketika dia tumbuh gagah membanggakan harus disembelih; adalah duka sedalam cinta.
Jika nanti kita berkesempatan mengunjungi Makkah, sesekali palingkanlah wajah dari toko-toko yang megah dan dagangan yang mewah, dan beralihlah menatap pasir-pasir dan debunya.
Sebab dalam suasana itu, Sumayyah menemui syahadah. Yasir suaminya, disalib, Bilal diseret ke tengah gurun, ditindih batu di atas pasir membara, dan dicambuk hingga pemecutnya kelelahan. Sebab dalam sesak itu, Khabbab pernah diselongsong di atas api pembakar besi, hingga cairan yang menetes dari lepuhan punggungnyalah yang memadamkan nyalanya.
Jika kita nanti menjadi tamu Allah, sesekali pejamkan mata kita dari kilau gemerlap lampu-lampunya, kecemerlangan marmer dan granit berukir-ukir. Lalu bacalah talbiyah dengan penghayatan sempurna. Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Lalu mari mengenang dua uswah hasanah kita itu dalam doa rindu, “Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad. Kama shallaita ‘ala Sayyidina Ibrahim wa ‘ala ali Sayyidinaa Ibrahim.”
Mereka yang menjadi sejarah, selalu membuat kita rindu kepada Makkah, menghayati duka sedalam cinta.
Idul Adha hakikatnya adalah membangkitkan kenangan tentang Nabi Ibrahim dan keluarganya, juga para Nabi dan Rasul lainnya.
وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji dengan berlapis perintah dan larangan, maka dia menunaikannya dengan sempurna..” (QS Al Baqarah: 124).
Lihatlah Allah telah mengujinya dengan bintang, bulan, dan matahari, dan dia meneguhkan imannya pada Rabb semesta alam. Bahkan Allah mengujinya dengan api setelah meruntuhkan berhala dengan kapak kecerdasan, dan diapun bersabar hingga apipun dingin dan keselamatan baginya. Lalu Allah mengujinya dengan debat membungkam tiran hingga harus hijrah berpindah-pindah, diapun tegar. Sampai-sampai Allah mengujinya dengan istri dan anak yang amat dicintai, meninggalkan mereka di lembah tak bertanaman hingga menyembelihnya, dan diapun berserah diri dengan sempurna.
Nabi Ibrahim yang bermimpi, dia juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia benar-benar menyembelih putera tercinta. Anak itu, yang lama dirindukannya, yang dia nanti dengan harap dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan untuk dipisahkan dari dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisah dengan ditinggal di lembah tak bertuan. Kini Isma’il harus dibunuh. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri. Dibaringkanlah sang putera yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup membuka mata ketika harus menggorok leher sang putera dengan pisau? Ayah mana yang sanggup mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya? Ibrahim terpejam. Dan ia melakukannya! Ia melakukannya meski belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang korban. Yang diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah itu maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya.
Maka Allah pun berfirman kepadanya:
قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا
Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam, pemimpin bagi seluruh manusia..” (QS Al Baqarah: 124).
Kepemimpinan apakah sementara dia bukanlah raja? Imam apakah sedangkan dia tak berkuasa? Kepemimpinan itu adalah digerakkannya hati manusia mengikuti teladannya, digerakkannya jiwa raga manusia mendatangi rumah yang dibinanya, digerakkannya ruh dan jasad menghayati manasiknya.
Para Rasul teladan, seringkali tak tahu apa yang akan mereka hadapi sesudah perintah dijalani. Mereka tak pernah tahu hikmah apa yang menanti di hadapan. Yang mereka tahu hanyalah, bahwa Allah bersama mereka. Nabi Nuh yang bersusah payah membuat kapal di puncak bukit tentu saja harus menahan geram ketika dia ditertawai, diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Nuh belum tahu bahwa kemudian banjir akan tumpah. Tercurah dari celah langit, terpancar dari rekah bumi. Air meluap mengepung setinggi gunung. Nuh belum tahu itu. Yang ia tahu adalah ia diperintahkan membuat kapal. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Tuhannya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya.
Nabi Musa juga menemui jalan buntu, terantuk Laut Merah dalam kejaran Fir’aun. Bani Israil yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul! Kita pasti tersusul!”, kata mereka.“Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Petunjuk itupun datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke laut. Nalar tanpa iman berkata, “Apa gunanya? Lebih baik dipukulkan ke kepala Fir’aun!” Ya, bahkan Musa pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian. Yang dia tahu Allah memerintahkan padanya, dan Allah bersamanya. Dan itu cukup baginya.
Dulu, nabi Yunus dikarantina dalam perut ikan. Ia bertasbih mensucikan Tuhannya. Akhirnya setelah keluar dia dapati kaumnya telah bertobat. Nabi Yusuf dikarantina dalam penjara. Setelah keluar ia menjadi Nabi dan Raja. Nabi Muhammad melakukan karantina di Gua Hira. Hingga turun Surat Al Alaq yang menjadi rahmat bagi semesta. Orang-orang shaleh dan para Nabi di masa lalu seringkali mendapatkan ujian berat dari Allah Swt, dan ujian itu mengangkat derajat mereka.
Merekalah para guru sejati. Yang kisahnya membuat punggung kita tegak, dada kita lapang, dan hati berseri-seri. Yang keteguhannya memancar menerangi. Yang keagungannya lahir dari iman yang kukuh, mengatasi gejolak hati dan nafsu. Di jalan cinta para pejuang, iman melahirkan keajaiban. Lalu keajaiban menguatkan iman. Semua itu terasa lebih indah karena terjadi dalam kejutan-kejutan. Maka musibah apapun, penyakit apapun, yang kita tahu hanyalah, “Inna maiya rabbii, sayahdiin. Allah bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Maka kita pun belajar tentang kepasrahan seutuhnya kepada Allah pemilik kuasa. Kita yakin tidak ada sesuatu apapun yang bergerak di langit dan di bumi kecuali atas izin Allah. Segala penyakit dan musibah yang menimpa adalah atas kehendak Allah semata. Maka tidak ada pilihan bagi kita, kecuali terus berikhtiar, ridha, sabar dan mengambil hikmah dari setiap musibah, mengambil pelajaran dalam setiap ujian.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ، وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ، وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah Swt. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (At Taghaabun: 11)
Orang-orang yang bersabar akan selalu mendapatkan keberuntungan selama kesabaran itu lakukan berdasarkan ilmu dan berharap keridhaan dari Allah Ta’ala. Inilah janji Allah dalam Al Quran:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah: 155)
Ini adalah berita gembira dari Allah. Maka berilah berita gembira kepada guru yang sabar; yang senantiasa mendidik muridnya dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Berilah berita gembira kepada pekerja yang sabar, yang tidak pernah putus harapan dalam berjuang dan bekerja keras mencari nafkah. Berilah berita gembira kepada para dokter yang sabar, yang setia merawat para pasien dengan telaten dan penuh kasih sayang.
Berilah berita gembira kepada pejabat dan aparat keamanan yang sabar, yang menjunjung tinggi martabat hukum, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok, berusaha memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, berjuang menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan dan keamanan, serta menjaga diri dari korupsi dan memakan harta yang haram.
Berilah berita gembira kepada rakyat yang sabar, tak pernah putus harapan kepada Allah atas apapun takdir yang menimpa, yang terus berusaha mengingatkan kekeliruan, dan terus menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Berilah berita gembira kepada mereka yang sabar atas wabah covid 19, yang membuat mereka tidak dapat menikmati kehidupan seperti hari hari sebelumnya, yang memaksa mereka untuk terpisah dan tidak berkumpul dengan seluruh keluarga pada momen indah dan bahagia seperti hari ini.
Semoga Allah Swt, senantiasa menganugerahkan kesabaran, ketabahan kepada kita semua dalam menjalani setiap ujian hidup, dan memberi jalan keluar untuk semua kesulitan yang kita hadapi. Amin ya Rabbal Alamin.
~~~~
*Disarikan dari Khutbah Idul Adha 1442 H yang disampaikan di Masjid Alkhairaat Tilamuta
**Oleh: H. Luqmanulhakim Abubakar, Lc., M.P.I