Madrasah Ramadan

Pernah mendengar kisah Quzman az Zhufri? Dalam buku sejarah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam (Tarikh Ibnu Hisyam), itu diceritakan bahwa Quzman az Zhufri merupakan salah satu prajurit yang berada di barisan kaum muslimin saat perang Uhud. Dia berperang dengan luar biasa. Maju dengan gagah berani tanpa ada rasa takut sedikit pun. Sekali tebasan pedangnya langsung dapat menghancurkan musuh-musuh pada saat itu. Semua prajurit kaum muslimin sangat takjub dengan keberanian dan kegagahan Quzman az Zhufri ini. Sampai setelah peperangan berakhir, para pasukan menemukan tubuh Quzman az Zhufri tergeletak dengan satu anak panah yang menancap di tubuhnya. Adapun tentang keberanianya saat di medan perang, tidak ada yang meragukan, mereka semua memuji kehebatannya, mereka semua memuji kegagahannya, dan dengan bangga mereka mengatakan “Huwa syahid, huwa fil jannah” orang ini telah syahid dan tempatnya adalah surga. Tapi, apa kata Rasulullah? “huwa fin naar” dia di neraka.

Pernyataan Rasulullah ini tentunya membuat para sahabat kaget. Bagaimana mungkin orang seberani, segagah, dan sehebat perjuangan yang dilakukannya, tetapi ujung-ujungnya masuk neraka. Mereka pun mencari tau informasi tentang Quzman, dan menemukan kenyataan ada satu kejadian di akhir kehidupannya saat dia telah terluka, saat dia telah berdarah-darah akibat perang, lalu terjatuh dari kudanya. Ketika orang-orang memuji tentang keberaniannya, apa kata Quzman, apakah kamu menyangka saya ini berperang untuk agama? Tidak. “innama qataltu lihasabi qaumi” saya itu berperang demi kemuliaan kaumku, atas nama kabilahku, atas nama kelompokku, atas nama itulah aku berperang. Lalu dia merasa sakit, tidak tahan lagi dengan luka yang menimpanya, dia ambil anak panah, lalu dia tusukkan ke tubuhnya sendiri. Artinya apa? Dia mati karena bunuh diri.

Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah itu? bahwa ternyata di setiap perkataan dan perbuatan yang kita lakukan, harus disesuaikan dengan niat.

Sebagai contoh, di Gorontalo misalnya, orang-orang tua Gorontalo telah mengajarkan serta mencontohkan hal tersebut dalam “laku hidup” mereka, bahwa keselamatan dan kebahagiaan seseorang dalam beragama itu tergantung pada “Qauli” (perkataan), “Fi’ili” (perbuatan), dan “Qalibi” (hati). Ketiga hal ini saling berhubungkait satu dan lainnya serta harus seiring-seirama dalam menjalani kehidupan. Memang tidak gampang, tetapi harus terus diasah, dibiasakan, lalu kemudian terbiasa.

Ramadan sebagai madrasah keilahian dan kemanusiaan, pada dasarnya hadir untuk mengasah tiga hal tersebut. Sebab, salah satu hakikat dari puasa adalah mengajarkan kepada kita kejujuran. Mengajarkan kepada kita kebenaran. Mendidik kita untuk menjadi orang yang jujur, baik itu dalam niat, dalam perbuatan, dan juga dalam kata. Sebagaimana kata Alquran, “Ya Ayyuhalladzina amanut taqullah wa qunuu ma’asshadiqin” wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur –dalam niatnya (hatinya), dalam perbuatannya, maupun dalam kata-katanya. Paling tidak, kejujuran itu diawali dengan jujur terhadap diri sendiri.

Sebagaimana orang yang hidup diberikan akal dan pikiran untuk menjalani kehidupan dengan baik dan bahagia. Lalu, mengapa kita tidak menggunakan itu? Ibarat sesuatu yang sangat buruk, jika seseorang diberikan lampu penerang, tapi dia terus berjalan dalam kegelapan. Sama halnya kita yang bertemu dengan Ramadan, tetapi tidak mengambil atau mendapatkan apa-apa dari Ramadan.

Leave A Reply

Navigate