Kadang kala kita fokus ke satu pintu yang tertutup, padahal ada pintu lain yang sedang terbuka menanti untuk kita masuki.
Pintu itu bisa bernama karir, jabatan sosial, kekayaan, kepandaian, kecerdasan, peluang kerja, atau yang lain.
Kita berfikir: kenapa saya tidak seperti dia? Dari segi usia tidak jauh beda, bahkan mungkin lebih muda, tapi dari segi capaian, saya kok bisa tertinggal jauh seperti ini?
Perasaan iri seperti ini, bisa saja timbul karena ingin dunianya, tapi lebih dari itu kadang lebih kepada peluang amal shalehnya.
Bahwa kadang kekayaan, jabatan, dan pengaruh sosial, memberikan lebih banyak kesempatan untuk berkontribusi lebih luas, atau menghasilkan amal shaleh lebih banyak.
“Perasaan Iri” seperti inilah yang akhirnya membuat para sahabat mengadu kepada Rasulullah.
Seperti apa yang disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa fakir miskin dari kalangan Muhajirin pernah mengeluh,
“Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya telah membawa pergi pahala, derajat yang tinggi dan nikmat yang tidak terhingga.”
Rasulullah bertanya, “Apa itu?”
Fakir miskin Muhajirin menjawab,
“Mereka (orang-orang kaya) shalat sebagaimana kami shalat, puasa sebagaimana kami puasa, tetapi mereka bersedekah sedangkan kami tidak, mereka memerdekakan budak sedangkan kami tidak (karena tidak mampu.)”
Orang-orang fakir miskin muhajirin itu bukan iri karena kekayaan yang dimiliki oleh saudara-saudaranya yang kaya.
Tapi iri pada kesempatan yang mereka punyai; yaitu mampu beramal shaleh lebih luas, meraih pahala lebih banyak, dan meraih keridhaan Allah lebih cepat.
Rasulullah berempati dan berkata kepada orang-orang fakir miskin ini, “Maukah kalian aku tunjukkan amalan yang apabila diamalkan niscaya kalian mendahului orang-orang sesudahmu serta tidak ada seorang pun yang lebih mulia darimu kecuali seseorang yang mengerjakan amalan seperti amalan kalian?
Amalan itu adalah membaca tasbih, takbir, tahmid, tiga puluh tiga kali setiap selesai shalat.
Orang-orang fakir miskin tentu saja bahagia mendapatkan amalan.
Mereka bisa menyaingi orang-orang kaya, tanpa harus kaya seperti teman-temannya.
Caranya pun mudah, yaitu dengan membaca dzikir khusus yang setara kemuliaannya dengan infak orang-orang kaya.
Ternyata, tidak berapa lama fakir miskin muhajirin itu kembali kepada Nabi seraya berkata, “Saudara-saudara kita yang kaya itu telah mendengar amalan yang kita kerjakan lalu mereka mengamalkan apa yang kita amalkan.”
Artinya, mereka akhirnya tetap kalah juga dibanding orang-orang kaya itu. Mereka tidak bisa mengejar lagi.
Amalan orang miskin itu diamalkan juga oleh orang-orang kaya.
Sementara amalan infak dan sedekah orang-orang kaya tetap jalan dan mereka tidak mampu melakukkanya
Apa kata Rasulullah? Beliau menjawab dengan potongan ayat:
ذٰلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ
‘Itu merupakan keutamaan Allah yang diberikan kepada orang yang Ia kehendaki.”
Artinya, di atas semua keinginan dan ikhtiar, ada batasan takdir Allah yang mengatur.
Ketika semua ikhtiar dan usaha kita lakukan dengan sungguh-sungguh, maka ada saatnya kita berhenti pada batasan takdir.
Pada akhirnya akhirnya kita harus berbesar hati menerima, bahwa saudara dan sahabat saya ini jauh lebih hebat dari saya dalam hal ini.
Sambil kita melihat peluang keutamaan Allah lainnya, minta kepada Allah agar kita diberi akses untuk mendapatkan keutamaan itu.
(Umarulfaruq Abubakar)
http://duakhalifah.com/
Ingin mendapat inspirasi dari Serial Tadabbur Al Quran harian? Gabung ke channel Ustadz Dr. Umarulfaruq Abubakar.
Klik–
https://t.me/UstUmarulfaruqAbubakar