Ketika ketemu dengan Ayahanda KH. Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, bersama para asatidzah dari Formaqin (Forum Maahid dan Madaris Quran Indonesia), beliau membuka percakapan dengan satu pertanyaan:
“Kamu itu ngurus Pondok Al Quran apa terus tambah gagah?”
Kami terdiam sambil mereka-reka arah pertanyaan ini
“Ayo jawab,” kata beliau.
Ya, kami menjawab dengan berbagai macam jawaban, seperti ingin mendapatkan keberkahan Al Quran, mendapatkan kemuliaan bersama para ahli quran, dan beberapa jawaban lainnya.
Beliau tersenyum sambil berkata..
“Terserahlah apa jawaban kalian… ”
“Tapi begini,…” ujar beliau mulai membuka pembicaraan yang lebih serius.
Dulu ada nikmat yang besar di Bukhara, Rusia, tempat kelahiran Imam Bukhari. Saya pernah kesana, kata beliau.
Yaitu Islam berjaya di sana selama 70 tahun. Setelah itu redup hingga saat ini.
“Kenapa bisa redup?”
Beliau lalu membacakan satu ayat, yaitu
{ ذَ ٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمۡ یَكُ مُغَیِّرࣰا نِّعۡمَةً أَنۡعَمَهَا عَلَىٰ قَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِیعٌ عَلِیمࣱ }
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [Surat Al-Anfal: 53]
Nikmat cahaya Islam itu tidak mungkin Allah cabut, kata Kiai Hasan, kecuali ada yang berubah dari mereka.
Apa yang berubah?
Yang berubah adalah kesadaran atas keislaman. Umat Islam lupa dan lalai. Maka nikmat Allah itu pun berubah.
Pikiran kami ikut melayang ke Andalusia. Cahaya Islam juga pernah bersinar gemilang selama 780 tahun (711-1491) di sana, kemudian meredup.
Begitu pula di Turki. Sejak masuknya Al Fatih tahun 1444, Islam begitu gemilang dalam kekuasaan Turki Usmani, sampai akhirnya meredup tahun 1923.
“Di Indonesia, untung ada pesantren,” Kata Kiai Hasan.
Pesantren, dengan segenap Kiai dan santrinya, inilah yang membawa kemerdekaan Indonesia.
Dari pesantren, kemerdekaan yang sejati ditegakkan. Semangat Tauhid adalah simbol kemerdekaan untuk hanya tunduk kepada Khaliq, dan tidak tunduk kepada Makhluk.
Saat menerangkan tentang Tauhid ini, terdengar suara azan dari Masjid Pondok Gontor yang berada di samping rumah beliau.
“Suara azan ini,” lanjut Kiai Hasan, “adalah deklarasi kedaulatan Islam di hati setiap muslim. Bahwa yang Maha Besar itu adalah Allah! Bukan manusia, bukan jabatan, bukan harta, bukan segalanya.”
Pemahaman seperti tidak disukai penjajah.
Maka mereka memaksa kita untuk mengakui bahwa mereka lebih besar, peraturan mereka lebih besar, politik mereka lebih besar. Dan selamanya akan seperti itu.
Sebab tidak akan pernah ridha orang Yahudi dan Nasrani kepada orang Muslim, sampai kaum muslimin mengikuti kemauan mereka.
Maka dari pesantren bangkit melawan para penjajah itu, dan selamanya akan terus melawan usaha yang ingin meredupkan cahaya itu.
Tugas kita di pesantren adalah untuk menjaga kesadaran tauhid itu, kesadaran Allahu Akbar dari segala-galanya.
Jadi pengelola pondok tahfiz tidak perlu kelihatan gagah. Tidak perlu kelihatan keren.
Yang penting tugas utama merawat nikmat Allah ini benar-benar dijalankan.!
Masya Allah. Itu rupanya jawaban pertanyaan di awal tadi.
Hati kami bergemuruh.
Ini nasehat yang luar biasa dan tadabbur Al Quran yang sangat hebat.
Menyiratkan tentang peran yang besar dari para guru guru Al Quran untuk menjaga kesadaran dirinya, asatidzah, santri, dan masyarakat di sekitarnya
(Umarulfaruq Abubakar)
http://duakhalifah.com/
Ingin mendapat inspirasi dari Serial Tadabbur Al Quran harian? Gabung ke channel Ustadz Dr. Umarulfaruq Abubakar.
Klik–
https://t.me/UstUmarulfaruqAbubakar