DAHSYATNYA TAKBIR

hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Al-Baqarah: 185)

Belajar Dari Hamba Sahaya

“Wahai putraku, aku tidak pernah merasa terhina seperti ketika berhadapan dengan Atha bin Abi Rabah” kata Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.

Waktu itu Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik melakukan haji dengan kedua puteranya. Pada saat thawaf, beliau mencari seseorang dan menemukannya di sebuah sudut di Masjidil Haram, sedang khusyuk beribadah.

Orang tersebut tua dan kurus. Kulitnya hitam. Hidungnya pesek. Jika ia berdiri, ia nampak seperti seekor gagak hitam. Khalifah menghampiri orang tua tersebut, menunggunya selesai dari shalat. Satu shalat selesai, lalu dilanjutkan dengan shalat berikutnya, dan Khalifah masih saja menunggu.

Begitu orang tua itu salam, Sang Khalifah segera mendekat. Orang tua itu hanya menyambut kedatangan Khalifah dengan biasa saja, tanpa penghormatan khusus. Kedua putera Khalifah semakin heran.

Khalifah mendekat, mengucap salam, menanyakan berbagai hukum Islam. Orang tua itu menjawab semua pertanyaan Khalifah dengan sempurna.

Selesai bertanya belbagai hal, Khalifah Sulaiman melanjutkan Sa’i dengan kedua puteranya. Di antara kerumunan orang yang sedang Sa’i, terdengar seorang berseru, “Wahai penduduk Mekah, jangan kalian minta fatwa, selain kepada Atha bin Abi Rabah.

Putera Khalifah heran, lalu bertanya, “Ayahanda, aku dengar orang berseru agar tidak minta fatwa selain kepada Atha bin Abi Rabah. Mengapa Ayahanda minta fatwa kepada orang tua miskin tadi?”

Khalifah mnjwb, “Duhai anakku, org yg kita temui tadi, & kita tunduk padanya itulah Atha bin Abi Rabah. Pemilik fatwa Masjidil Haram. Pewaris Abdullah bin Abbas dalam perkara ilmu.”

“Wahai anakku! Pelajarilah ilmu. Dengan ilmu, orang hina jadi mulia, bodoh jadi cendekia, dan budak lebih tinggi derajatnya dari raja” Ujar Khalifah Sulaiman kepada puteranya.

Orang miskin dan tua tempat Khalifah bertanya sesungguhnya dulunya adalah seorang budak.

***

Sungguh sangat susah bagi seorang budak belian untuk mewujudkan obsesi dan keinginan hidupnya. Bagaimana bisa, sementara hidupnya bukan miliknya. Dia adalah milik tuannya yang harus selalu siap kapan pun diperlukan. Detik waktunya adalah hitungan kerja memenuhi suruhan, melaksanakan perintah dan menjalankan keinginan sang majikan.

Sebuah kehidupan yang tidak beraturan dan hanya berputar-putar pada siklus perintah dan suruhan dari satu majikan kepada majikan lainnya. Maka tidak heran jika derajat budak selalu rendah dan sangat sulit untuk mencapai ketinggian.

Demikian pula hal seorang budak dari Habasyah yang bekerja pada seorang perempuan di kota Mekah. Nasib telah membawanya menjadi budak belian lengkap dengan seluruh tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai hamba sahaya.

Namun kondisi dirinya yang seperti ini tidak membuatnya patah semangat untuk mengukir sesuatu yang lebih berarti. Dalam kesibukan hariannya yang selalu berada dalam bayang-bayang perintah dan keinginan majikan, ia masih sempat membagi waktunya menjadi tiga bagian.

Bagian pertama adalah untuk bekerja menjalankan tugasnya sebagai hamba sahaya. Bagian kedua untuk ibadah mengabdikan diri kepada Allah, Tuhan penciptanya, dan bagian ketiga untuk menuntut ilmu.

Begitulah. Ia jalani hidupnya dengan teratur dengan tiga porsi waktu itu. Di sela-sela pekerjaanya, ia menyempatkan diri menemui sahabat Abu Hurairah r.a, Abdullah Ibnu Zubair r.a, Abdullah Ibnu Abbas r.a dan para sahabat lainnya untuk belajar dan meraup pengetahuan. Dia manfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya tanpa sedikitpun melalaikan kewajibannya sebagai seorang sahaya.

Melihat kegigihan budah Habasyah ini dalam menuntut ilmu, majikannya kemudian memerdekakannya. Setelah itu ia pun mencurahkan seluruh waktunya untuk ilmu dan ibadah. Hingga sampailah suatu ketika Abdullah bin Umar r.a datang ke Mekah untuk melaksanakan umrah.

Penduduk Mekah pun mengerumuninya untuk bertanya persoalan-persoalan agama. Ibnu Umar memandangi mereka sambil berkata:”Sungguh aku heran dengan kalian wahai penduduk Mekah. Kalian mendatangiku untuk bertanya persoalan agama, padahal di tengah-tengah kalian ada ‘Atha bin Abi Rabah”.

Ya. Hamba sahaya dari Habasyah tadi yang bernama ‘Atha bin Abi Rabah kini telah menjadi seorang pemuka ahli fiqih di kota Mekah. Ia menjadi imam dan guru di mesjidil haram, menyampaikan pelajaran dan mengeluarkan fatwa-fatwa untuk berbagai persoalan agama. Namanya hingga kini tetap menjadi rujukan dalam ilmu-ilmu keislaman. Kegigihannya telah membawanya ke derajat sangat mulia yang mungkin tak bisa dicapai oleh raja-raja.

Demikianlah sejarah kembali bercerita bahwa sebuah kesungguhan dan kekuatan tekad akan sangat bisa mengantarkan pemiliknya ke puncak kejayaan.

Kegigihanlah yang bisa mengumpulkan sesuatu yang bercerai-berai, menyatukan sesuatu yang berserakan, memadukan hal-hal yang tak beraturan dan bahkan bisa mempertemukan antara timur dan barat. Sesuatu yang seakan aneh dan tidak mungkin terjadi bisa menjadi sebuah kenyataan berkat kegigihan.

Mempersatukan bangsa arab dan menghapus benih kekufuran yang telah berkembang luas adalah sesuatu yang hampir mustahil bagi setiap orang, namun ternyata Nabi Muhammad dengan segala kegigihannya bisa membawa masyarakat jahiliah itu menjadi bangsa yang berperadaban, bahkan sinar kemilau itu menyebar ke semenanjung arabia dan terus melebar menyinari seluruh belahan dunia.

Imam Nawawi dengan usia hidupnya yang amat terbatas bisa menjadi seorang faqih dan menghasilkan banyak buku di bidang Fiqih dan Hadits yang tetap bermanfaat hingga kini. Imam As-Suyuti telah menjadi lautan ilmu yang amt dalam di berbagai cabang ilmu pengetahuan, khususnya di bidang tafsir, hadits, fiqih, nahwu dan balaghah dalam masa hidup yang tidak lama.

Allah Akbar..!

Sesungguhnya Allah Mahagung dan Mahaberkuasa mengatur kehidupan hambanya. Kekuasaan Allah jauh lebih daripada kekuasaan apapun jua. Hidup kita tidak tergantung kepada bos, kepada majikan, kepada guru, kepada orang tua, tidak kepada seorang pun jua. Hidup kita berada dalam kekuasaan Allah.

Dia mampu membolakbalikkan keadaan. Dia sangat agung dan berkuasa. Kalau pun kita meminta, mintalah kepada Zat yang Mahabesar itu.

***

Oleh: Dr. Umarulfaruq Abubakar, Lc., M.HI

Leave A Reply

Navigate