Kata-kata Cinta dan Ketundukan

Setelah kita menyadari betapa hebat dan luar biasanya Rabb kita, Allah Swt. semestinya dari sini muncullah rasa cinta dan ketundukan.

Sesungguhnya inilah kalimat cinta. Melalui Lailaaha illallah kita mengikrarkan bahwa tidak ada sesembahan selain Allah. Hanya kepada-Nya kita menyembah dan hanya kepada memohon pertolongan. Hanya kepadanya kita menautkan hati, melabuhkan cinta sekaligus mengharapkan cinta-Nya.

Bagaimana kita tidak cinta Zat yang memberikan karunia kepada kita dengan melimpah, memberikan fasilitas penglihatan, pendengaran, anggota tubuh lengkap, yang bekerja dalam sebuah sistem yang sangat rumit.

Bagaimana kita tidak cinta kepada Zat yang memberi kita uang, memberikan kita peluang, membuka pintu-pintu rezeki, memudahkan kita mencapai prestasi, menyediakan kesempatan untuk berbisnis, menjadikan keluarga kita harmonis, membantu kita di kala duka, menyelamatkan kita dari petaka.

Dia yang selalu memberi dan membersamai, Dia pula yang selalu kita durhakai. Terang-terangan melanggar perintahNya, padahal saat itu kita tau Dia melihat kita. Kesadaran diri terhempas, oleh dorongan nafsu yang menghantam keras. Akal tak berfungsi saat nafsu bergolak, malah menjadi budak nafsu yang bergejolak.

Setan dan nafsu yang terlalu hebat, ataukah diri kita yang lemah dan tak kuat?

Selalu saja diri ini menjadi bulan-bulanan, dari satu kemaksiatan beralih kepada kemaksiatan, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.

Ketika koleksi kelalaian kita meningkat, ibadah kita hanya berjalan di tempat. Bahkan kualitas semakin mundur, semangatnya semakin kendur, ibadah hanya menjadi gerakan otomatis dan rutinitas semata, tanpa diiringi oleh ketundukan dan rasa cinta.

Padahal tujuan kita diciptakan untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Ibadah adalah kondisi yang meliputi kehidupan seorang muslim.

***
Pembaca sekalian…
Apakah ibadah itu?

Menurut Ibnu Taimiyyah, ibadah adalah nama untuk semua perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah. Ibadah juga berarti ketundukan yang sempurna disertai dengan rasa cinta yang sempurna.

Saudaraku…

Adanya ketundukan dan rasa cinta, itulah yang membedakan antara sebuah ibadah dengan pekerjaan-pekerjaan biasa, yang menjadi ukuran apakah amal yang kita lakukan adalah sebuah penghambaan yang sejati ataukah hanya sekedar rutinitas.

Kita seringkali kehilangan makna dalam kegiatan ibadah yang kita lakukan. Shalat misalnya, alhamdulillah kalau selama ini kita rutin melakukannya. Apalagi dilaksanakan tepat waktu dan berjamaah. Sungguh hal itu sebuah kebaikan yang sangat besar.

Hanya saja kita perlu evaluasi lebih lanjut, apakah kita bergerak melaksanakan shalat karena panggilan cinta, atau bergerak secara otomatis dan rutin karena mendengar azan dan sudah tiba waktu shalat.

Seperti bel yang berdering, lalu secara otomatis masuk kelas untuk mengikuti pelajaran.

Sungguh, tanpa rasa cinta dan ketundukan, apa yang kita lakukan hanya menjadi rutinitas saja. Menjadi sebuah gerak otomatik tanpa kita merasakan penghambaan yang utuh dalam amal yang kita lakukan.

Adakah kekhusyu’an dalam setiap gerak gerik shalat kita itu?

(Untuk mengkaji lebih lanjut tentang shalat khusyu, bisa lihat buku saya, “Nikmatnya Shalat Khusyu; Rahasia Hidup Sukses dan Bahagia)

***

Lailaaha illallah

Tidak ada sesembahan kecuali Allah semata. Tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah. Tidak ada yang patut dicintai dengan sepenuh hati kecuali hanya Allah semata. Hanya KepadaNya kita hadapkan hati dan jiwa dalam ibadah-ibadah yang kita lakukan, dengan penuh cinta dan ketundukan.

Alangkah baiknya kita meluangkan waktu untuk bertanya, apa yang mendorong saya melaksanakan puasa ini?

Bertanyalah, Kita bekerja selama ini untuk siapa? Kita mengajar, bekerja untuk orang banyak, memberi sedekah, membantu orang kesusahan, karena siapa?

Kalau jawabannya karena Allah, maka mengapa begitu ngotot mencari perhatian dan penghargaan orang lain? Mengapa kita sangat kesal dan murka saat diri seakan tidak diperhatikan, saat pekerjaan kita merasa dihargai?

Padahal, bukankah nilai diri kita sungguh sangatlah mahal? Mengapa menuntut untuk dihargai atau diberi harga? Baik diganti dengan uang, senyuman, atau sedikit perhatian.

Otak kita, pikiran, perasaan, waktu, kelebihan, keahlian, semua kemampuan yang kita miliki adalah karunia yang jauh lebih berharga daripada hitungan uang. Bahkan diri kita ini tidak bisa “dihargai” dengan apapun.

Hanya Allah saja yang mampu mengganti segala usaha yang kita lakukan, dan hanya Dia yang memberikan kita segala karunia yang tidak terkira.

Pembaca yang budiman…

Betapa bahagia bila kita telah diberikan kesempatan oleh Allah untuk berkunjung ke Baitullah di Mekah Al-Mukarramah, baik untuk berhaji maupun umrah.

Alangkah indah ketika kita melaksanakan perjalanan yang sangat agung ini, kita tidak mempersiapkan fisik saja, tapi juga mempersiapkan hati. Seberapa besar rasa ketundukan kepada Allah dan rasa cinta kepada-Nya ketika melaksakan amalan tersebut.

Menumbuhkan rasa cinta dan ketundukan dalam setiap ibadah adalah hal penting untuk kita perhatikan.

Rasa cinta kepada Allah itu artinya kita melaksanakan perintah ini dengan penuh harap dan suka cita, sebab kita dapat bertemu langsung kepada Allah melalui ibadah-ibadah kepada Allah. Hanya dengan ibadah kita dapat berjumpa dengan Allah. Saat kita shalat, saat itu pula kita bermi’raj, jiwa kita menghadap kepada Allah Sang Pencipta.

Rasulullah dan para sahabat adalah genarasi yang sangat merindukan datangnya shalat. Sebab melalui shalat ini mereka dapat bertemu langsung dengan Allah Swt. Bagi Rasulullah dan para sahabat, shalat adalah penyejuk mata.

Tunduk kepada-Nya ada sebagai hamba yang tak punya kekuatan dan kemampuan apa-apa di hadapan Rabb-nya.

Sungguh, kalimat Lailaaha illallah yang diucapkan dengan sepenuh sepenuh hati dapat mendamaikan jiwa yang resah. Inilah cara terbaik menata alam bawah sadar kita sehingga membuatnya berselera melahirkan amal kebaikan dengan produktif.
***

Leave A Reply

Navigate