Nasehat Ust Mohammad Fauzil Adhim ini terasa benar-benar menyentuh di hati saya:
Kebersamaan yang Tak Lama
Ayah Bunda…
Sungguh anak-anak kita tak selamanya kecil. Pada saatnya mereka akan tumbuh dewasa, mandiri, dan berkeluarga. Kalau mereka sudah menikah, tak ada lagi kesempatan bagi kita untuk meniupkan balon, bermain petak umpet, membacakan buku cerita, atau mewarnai bersama. Betapapun inginnya kita, tidak mungkin lagi kita menyuapi mereka seraya bercanda dan memuji gambar bikinannya.
Anak-anak kita tak selamanya kecil…
Anak-anak kita yang kemarin merengek minta perhatian kita itu, sekarang mungkin sudah sibuk memenuhi jadwal kegiatannya yang sangat padat. Anak-anak yang kemarin menahan tangisnya karena kita tak kunjung mau mendampingi mereka untuk menuturkan cerita, hari ini mungkin kita yang harus belajar menahan diri karena sangat ingin mendengar cerita tentang mereka dari lisan mereka sendiri.
Sungguh, kehidupan kita dan anak-anak seperti pusaran nasib yang sedang dipergilirkan. Saat anak kita lahir, mereka sepenuhnya bergantung kepada kita. Mereka benar-benar amat memerlukan kehadiran kita, sentuhan kita, dekapan ikhlas kita, serta kerelaan kita untuk menyapa mereka seraya menatap matanya yang jernih dengan penuh cinta. Inilah saat yang paling berharga untuk anak kita. Tetapi justru inilah saat yang sering kita abaikan karena boleh jadi kita tidak merasa membutuhkan mereka. Semakin bertambah umurnya, semakin berkurang ketergantungannya kepada kita. Mereka mungkin masih memerlukan kita, tetapi karena sudah tidak terlalu tergantung, mereka bisa mengalihkannya kepada orang lain.
Saat usianya remaja, posisi kita semakin lemah. Mereka lebih mendengar temannya daripada oran tuanya sendiri. Kata kata orangtua tak lagi berharga, kecuali jika kita sudah menabung kedekatan dan penghormatan semenjak mereka masih balita. Jika anak-anak itu tidak memiliki penghormatan yang tinggi kepada orangtuanya, maka gurauan teman jauh lebih mereka dengar daripada sapaan paling tulus dari orangtua.
Tak lama lagi mereka akan menikah. Sesudah berlalu masa remaja, datanglah masa dewasa. Inilah masa ketika anak-anak yang dulu merindukan bapaknya itu sudah benar-benar mandiri. Mereka tidak lagi memerlukan orangtua, kecuali jika iman menancap kuat di hati mereka. Inilah yang menjadi kekuatan dalam diri mereka untuk berkhidmat pada orang tua. Jadi, mereka berkhidmat bukan karena sangat besarnya kerinduan dan penghormatan pada orang tua, tetapi karena dorongan untuk meraih ridha Allah Azza wa Jalla.
Waktu tak dapat diputar kembali. Tak ada pilihan bagi kita untuk mengulang mendidik anak-anak sedari awal. Yang ada ialah perjalanan untuk terus semakin jauh meninggalkan masa lalu. Seburuk apa pun kita mendidik anak, tak ada penukar, tak ada pula penawar. Kita boleh menangis dan merasa bersalah kepada anak-anak kita, patut pula untuk memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Tetapi tak ada tempat untuk berandai-andai sebab ini justru membuat kita semakin menjauh dari kebaikan.
Atas tangan yang tak terkendali saat menghadapi anak, atas lisan yang tak terjaga saat menegur mereka, yang kita perlukan hari ini adalah meminta maaf kepada anak-anak. Kita berusaha memperbaiki hari-hari mendatang bersama anak-anak kita agar dapat memberikan pendidikan yang lebih baik kepada mereka. Kita juga memohon ampunan kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas bertumpuknya dosa, atas lalainya kita dalam mengasuh anak-anak dan atas kerasnya hati yang terburu. Boleh jadi kerasnya kita menghadapi anak dan hilangnya kelembutan saat membersamai mereka disebabkan keruhnya hati kita oleh maksiat. Begitu dekatnya kita dengan keburukan, sampai lupa jalan untuk mengasuh mereka dengan lembut.
Bukankah Rasulullah shallaLlahu ’alaihi wa sallam telah bersabda
إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُوْنُ فِيْ شَيْئٍ إِلَّا زَانَهُ وَمَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْئٍ إِلَّا شَانَهُ
“Tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasainya dan tidaklah dicabut darinya melainkan akan memperburukkannya.” (HR. Muslim).
Mengingati anak-anak yang telah beranjak besar, mengenang anak-anak yang sekarang sudah tak lagi di rumah demi menuntut ilmu nun jauh di sana, airmata ini jatuh. Belum cukup baik diri ini mendidik mereka. Belum cukup patut diri ini mengasuh mereka. Belum cukup layak bekal yang kuberikan kepada mereka.
Alangkah sering orangtua menuntut, tapi lupa membekali. Tetapi alangkah sering pula orangtua lalai meneguhkan hati, keyakinan dan iman anak disebabkan oleh perasaan kasihan yang salah tempat.
Anak-anak kita yang dulu masih kecil, sekarang telah beranjak besar dan mampu berkiprah sendiri. Adapun kita, secara pasti akan semakin tua dan pada akhirnya kekuatan kita berkurang dan melemah. Atas berbagai kesalahan kita mendidik anak, ada yang dapat kita perbaiki di masa ini. Tetapi banyak yang tidak ruang untuk memperbaikinya kecuali dengan memohon kepada Allah Ta’ala, bermunajat kepada-Nya, mengharap agar Allah Ta’ala baguskan anak-anak kita, betapa pun banyak salah kita dalam mengasuh dan mendidik mereka.”
Anak-anak kita amanah terbesar kita dari Allah Swt. Sekaligus sebagai investasi terindah di dalam kehidupan selanjutnya nanti.
Sungguh, waktu kita sangat pendek. Anak-anak kita tak selamanya menjadi balita. Mereka akan tumbuh menjadi kanak-kanak, remaja, dan kemudian dewasa. Hari ini mereka memerlukan kita. Hari ini amat besar kerinduannya kepada kita. Diantara mereka mungkin ada yang belum kering airmatanya karena berharap bisa bercanda, tapi bapaknya sudah bergegas pergi untuk merebut sebuah kata bernama sukses. Mereka berlelah-lelah atas nama anaknya, padahal anaknya sedang kelelahan karena menunggu kesempatan untuk bermain bersama bapaknya. Mereka ingin berbincang dan bercanda, meski hanya sebentar. Dua menit saja…
***
Untaian nasehat Ust. Mohammad Fauzil Adhim di buku “Saat Berharga Untuk Anak Kita” itu selalu menggetarkan hati saya setiap kali saya membacanya. Dan selalu yang terbayang adalah perlakukan dan sikap saya yang kurang dewasa kepada anak-anak. Alangkah mahal dan mulianya kesabaran dalam mendidik anak itu, sebuah hal yang saya sendiri masih harus terus berusaha mempelajari dan melatihnya saat mendidik anak-anak saya.
Dan saat ini, tampak berkelebat dalam pikiran saya kenangan kenangan yang indah bersama ibu dan almarhum abah saya. Kedua orang tua adalah orang yang paling berjasa dalam membimbing saya menghafal Al-Qur’an. Ibu saya adalah guru pertama saya. Dari beliau saya belajar mengeja huruf a ba ta tsa sampai akhirnya saya bisa menyelesaikan bacaan iqro dan akhirnya bisa membaca Al-Qur’an.
Dari abah, saya mendapatkan inspirasi menghafal Al-Qur’an. Sederhana saja kata-kata abah waktu itu, tapi masuk ke dalam hati saya dan akhirnya saya jadi bersemangat untuk menghafal.
Inspirasi itu hadir ketika Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat provinsi Gorontalo yang diadakan di Kota Tilamuta. Biasanya latihan-latihan tilawah mujawwad oleh para qari diadakan di mesjid Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta yang berada di dekat rumah saya. Setiap hari saya mendengarkan lantunan suara tilawah yang merdu itu, terutama bila yang melantunkannya guru saya, Ust. Yusuf K. Rupu. Indah luar biasa. Saat perlombaan tiba, saya juga ikut mendengarkan lantunan tilawah itu.
Karena sering mendengar dan tertarik ingin bisa tilawah berlagu seperti itu, saya suka menirukan apa yang saya dengarkan itu ketika di rumah. Tapi karena dasarnya suara saya yang sumbang dan langgam lagu yang keluar kedengarannya aneh, maka yang mendengarkan bukannya khusyu’ dan syahdu, tapi malah tersenyum senyum. Ada yang sedikit terkejut, tapi langsung tertawa setelah itu.
Melihat respons yang seperti itu dalam kejadian yang berulang kali, abah saya tersenyum. Beliau mendekati saya sembari berkata kira kira seperti ini, “Nak, kalau interaksi kamu dengan Al-Qur’an tidak bisa melalui langgam lagu, coba saja dengan cara menghafalnya”
Oya betul juga, pikir saya. Mungkin saya tidak berbakat dalam melagukan Al-Qur’an seperti para qari itu, tapi mungkin saya punya bakat di bidang menghafal..
Sentuhan sederhana namun penuh empati dari abah saya itulah yang akhirnya menjadi pemicu saya untuk mulai menghafal, terus menghafal, hingga bisa menikmati proses menghafal itu, dan bertemu dengan guru-guru yang mau membimbing saya untuk menyelesaikan hafalan 30 juz Al-Qur’an. Dan saya merasakan di kemudian hari, interaksi dengan Al-Qur’an dengan cara menghafal dan memahami makna memberikan sentuhan yang luar biasa dalam hidup saya.
Kebersamaan dengan abah saya itu ternyata tak lama. Namun dalam waktu yang singkat itu beliau banyak mengukir kenangan indah yang tak terlupa.
(Disarikan dari buku “Jurus Dahsyat Mudah Hafal Al Quran Untuk Anak” karya Umarulfaruq Abubakar)