Hati ini akan terasa lebih tenang dan damai bila kita menyadari bahwa tidak usaha kita selama ini tidak ada satupun yang sia-sia. Semua ada ganjarannya, semua ada hasil dan konsekuensinya.
Tak perlu berteriak-teriak agar diketahui orang banyak. Tak perlu mencari perhatian agar mendapatkan pujian dan sanjungan. Tak perlu menunggu simpati dan ucapan terimakasih. Zat yang Maha Melihat itu selalu memperhatikan dengan saksama, mengawasi setiap gerak gerik dengan sempurna, senang kepada hamba-hamba-Nya yang menebar manfaat, murka kepada mereka yang tak henti bermaksiat.
Imam Hasan Al-Banna pernah menyatakan; bahwa sesungguhnya harta paling bernilai dalam gerakan perjuangan islam adalah mereka orang-orang yang luar biasa namun tidak terkenal. Ia nafkahkan harta terbaik yang ia miliki, ia berikan tenaga yang ia punyai, ia korbankan waktunya yang paling berharga.
Apabila ia datang, ia tidak dikenal. Apabila tak datang, tak ada yang mencari. Ia sengaja menjauh dari kemasyhuran dan ketenaran. Sedikit berbicara, banyak beramal. Ia percaya, bahwa ada Rabb yang selalu mengingatnya, dan menyebut-nyebutnya dalam sebuah majlis yang jauh lebih baik dari bumi dan seisinya, Rabb yang menyukai amal-amal yang ikhlas.
Ruang dan waktu tak membatasinya untuk terus berkarya. Rabbnya sangat dekat, terus saja memperhatikan gerak-geriknya, dalam keadaan apapun juga. Tak peduli orang tau atau tidak, orang lain perhatian atau tidak ia terus bekerja. Dalam diam dan sepi, ia tak sendiri. Rabbnya selalu bersamanya, senantiasa menemaninya dan memberi kedamaian dalam hatinya.
Maka penjara bukan penghalang. Sakit keras tak mampu menghentikan langkahnya. Keterasingan tidak mampu meluruhkan semangatnya. Ia senantiasa punya harapan, bahwa Tuhannya tak akan pernah menyia-nyiakannya.
Lihatlah, dari balik penjara, Imam As-Sarakhsi mampu menyelesaikan kitab Al-Mabsuth yang berjumlah 30 jilid. Sebagian besar hidup Ibnu Taimiyah di habiskan dari satu penjara ke penjara lainnya, bahkan beliau meninggal di sana. Namun dari balik jeruji itu lahirlah karya–karya hebat dan luar biasa. Kitab Majmu Fatawa yang berjumlah 30 jilid hanya salah satu diantaranya.
Sayid Quthub terus menulis dalam siksaan penjara Jamal Abdunnasser di Mesir. Dengan memanfaatkan serpihan-serpihan kertas bekas, ia mampu menyelesaikan karya monumental: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang terdiri dari 12 jilid dan buku Ma’alim Fi Thariq.
Di bawah bayang-bayang kematian yang semakin mendekat, di ujung pengharapan hidup yang semakin tipis, setelah melalui siksaan yang menghempaskan hidup, Buya Hamka terus menulis. Maka lahirlah Kitab Tafsir Al Azhar yang sangat hebat, salah satu karya anak bangsa yang diakui dunia.
Mereka tak pernah merasa lelah berjalan, tak merasa bosan berkarya, tak jengah menebar hidayah, tak gelisah meski kondisinya sederhana. Yang penting setiap perjalanan hidup bisa memberikan kontribusi dan karya nyata. Ada semangat Lailaaha illallah yang selalu mereka bawa. Kemanapun mereka pergi, dimanapun mereka berada, mereka hidup bahagia dengan gembira. Mereka siap menyemai cita-cita, selalu bersemangat melahirkan karya, di dorong oleh keyakinan kokoh dan tekad kuat yang mereka simpan di dalam dada, meninggikan kalimat Allah, membumikannya di jagat raya dunia.
***
Oleh: Dr. Umarulfaruq Abubakar, Lc., M.HI