OPTIMISME TANPA BATAS

Suatu ketika sahabat Abu Darda’ yang pada saat itu sudah mencapai usia lanjut. Beliau sedang menanam pohon di tanah pekarangannya, tiba-tiba datang seseorang lalu berkata, “wahai orang tua, engkau menanam saat ini mungkin usiamu tidak akan sampai memetiknya.” Apa kata Abu Darda’, “wa ma alayya an akuna ajri lillah wa ya’kuluha gairih” terus apa masalahnya aku mendapatkan pahala dari Allah dan biarlah orang lain yang memakannya. Artinya apa, sahabat Abu Darda’ berpikir bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kebaikan orang banyak.

Dalam hadis Rasulullah Saw menyatakan, “idza qamatissa’ah wa fi yadi ahadikum fasilah, fal yagrishah” apabila sudah terjadi kiamat, sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada benih, maka hendaklah dia tanam benih itu. Kapan lagi benih itu akan tumbuh ketika kiamat telah benar-benar terjadi. Kalau hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri, maka tidak ada gunanya. Tetapi kita dianjurkan untuk berpikir jauh ke depan. Ada rasa optimisme yang luar biasa, bahwa sesungguhnya Allah Swt tidak akan pernah menyia-nyiakan apa yang kita lakukan. Optimis tanpa batas itulah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada kita melalui hadis ini.

Beliau Saw juga mengajarkan kepada kita untuk selalu berharap kepada Allah Swt atas apa yang kita lakukan. Mungkin tidak banyak orang yang menghormati, mungkin tidak banyak orang yang menghargai, tetapi sesungguhnya, “Innallah la yudhi’u ajral muhsinin” sesungguhnya Allah Swt tidak akan pernah menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan. Maka sekecil apapun kebaikan itu, mampu kita lakukan, lakukanlah.

Dalam hadis Rasulullah Saw menyatakan, “Badiru bil amalissalihat qabla an tusygalu” segeralah kalian melakukan amal kebaikan itu sebelum kalian disibukkan oleh banyak hal sehingga kalian tidak sempat melakukan kebaikan itu.

Dengan demikian, jangan ada satu detikpun waktu dalam keseharian kita kecuali ada kebaikan yang kita tanam di dalamnya. Memberi kepada orang lain, berbagi hal-hal yang bermanfaat, kita tilawah Alquran, kita berdzikir kepada Allah, kita tafakkur, kita jaga agar jangan sampai ada waktu yang terlewatkan tanpa manfaat, dan itulah yang akan jadi penyesalan di hari kiamat. Karena yang menyesal di hari kiamat bukan hanya penghuni neraka yang berharap akan dikembalikan di dunia, tetapi juga penghuni surga juga akan menyesal. Itu semua bisa kita baca di kitab para ulama tentang penyesalan para penghuni surga, di mana mereka ketika ditampakkan catatan amal kebaikan mereka, ditampakkan amal-amal mereka di dunia, mereka menyesal. Karena ternyata di antara sekian waktu yang diberikan kepada mereka ada detik-detik yang kosong tanpa amal, ada detik-detik yang kosong tanpa diisi dengan kebaikan.

Sahabat Muadz bin Jabal pernah berkata, “Inni la ahtasibu min naumati kama ahtasibu min qaumati” sesungguhnya saya berharap pahala dari Allah Swt, dari tidurku, sebagaimana saya berharap pahala dari shalat dan qiyamullailku. Artinya apa, dalam tidur pun kita berkesempatakn untuk mendapatkan kebaikan, kalau kita melaksanakan tidur itu sesuai dengan sunnah dan anjuran Rasulullah Saw. Dalam makan pun, kita akan mendapatkan kebaikan. Dalam jalan-jalan, dalam wisata, dan dalam apapun hal-hal yang menyenangkan, sesungguhnya itu akan mendapatkan kebaikan.
“Wa Fi budh’I ahadikum shadaqah” bergaul dengan istri itu pun bisa menjadi sedekah. Selama apa? Selama kita sesuaikan dengan tuntunan dari Rasulullah Saw.

Sungguh kehidupan yang terindah ketika kita bisa memahami sunnah Rasulullah Saw dan kemudian kita menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Semoga Allah Swt, menguatkan kita untuk selalu berdzikir kepadaNya, sehingga setiap waktu kita terisi dengan kebaikan.

Leave A Reply

Navigate