TENGGELAM DALAM TAFAKUR

Suatu ketika Imam Syaqiq al Balkhi minta izin kepada gurunya, Ibrahim bin Adham, untuk melakukan perjalanan dagang bersama kafilah yang akan berangkat. Ibrahim bin Adham pun mengizinkan. Di hari kedua, ternyata Syaqiq al Balkhi sudah hadir lagi di majelis gurunya. Hal tersebut membuat Ibrahim bin Adham kaget dan bertanya, “wahai Syaqiq, bukankah engkau pergi untuk berdagang?”, Syaqiq al Balkhi, menjawab, “saya melihat satu kondisi, satu keadaan di tengah perjalanan yang membuat saya pulang”, “apa itu” tanya Ibrahim bin Adham, “ada seekor burung yang kakinya patah, sayapnya patah, matanya buta. Lalu saya berpikir bagaimana cara makhluk ini mendapatkan rezeki, bagaimana cara dia hidup, bagaimana mendapatkan makanan. Tidak berapa lama, saya melihat ada seekor burung yang lain membawa seekor cacing di mulutnya kemudian menyuapkan cacing tersebut kepada burung yang buta ini. Saya pun berpikir, kalau makhluk yang tidak berdaya ini Allah Swt jamin rezekinya, apalagi saya, manusia yang lengkap dengan semua panca indera seperti ini, pastilah Allah akan lebih bisa menjamin rezeki saya.” Ibrahim bin Adham tersenyum, lalu berkata, “wahai Syaqiq, kenapa engkau ridha memilih menjadi burung yang buta daripada memilih menjadi burung yang datang membawa makanan untuk temannya.” Kaget dengan perkatan Ibrahim bin Adham ini dia pun segera berdiri lalu berkata, “terima kasih wahai guruku, saya akan kembali menyusul kafilah dagang untuk berdagang.”

Tafakur, berpikir tentang ciptaan Allah ini adalah satu amalan yang sangat penting. Imam Ibnul Jauzi pernah berkata, “Ta’ammaltu ala aktsarinnas ibadatihim faidza hiya aadat” saya merenungkan tentang sebagian ibadah orang-orang banyak, saya mendapatkan ternyata banyak ibadah yang berubah menjadi adat dan kebiasaan dan tidak bernilai ibadah lagi. Beliau mencontohkan ungkapan ‘subhanallah’ yang hanya diungkapkan oleh lisan, sangat jauh berbeda dengan ungkapan seorang yang mengiringi ibadahnya itu dengan tafakur setelah ia menyaksikan alam semesta, setelah dia menyaksikan ciptaan Allah Swt, lalu terucap dari bibirnya ‘subhanallah.’ Sungguh, kata ‘subhanallah’ setelah tafakur setelah ini sangat jauh nilainya di sisi Allah Swt.

Syaqiq al Balkhi berkata, “al mukminu masygulun bikhaslataini; al I’tibar wat tafakkur” seorang mukmin selalu sibuk dengan dua hal, mengambil pelajaran dan bertafakur. Ibnul Qayyim al Jauziyah menyatakan, “min ajalli a’malil qalbi wa anfa’iha lahu, at tafakur” sesungguhnya di antara ibadah hati yang paling mulia dan paling bermanfaat, adalah tafakur. Merenung tentang ciptaan Allah Swt. “Fat tafakur huwalladzi yanqulu min mautil gaflah ila hayatil yaqdzah” tafakur itulah yang membawa seseorang berpindah dari kelalaian menuju kepada kesadaran jiwa. “Wa min maradis syahwat ila syifail inabah” dari sakit syahwat kepada kesembuhan dengan kembali kepada Allah Swt. “Wa min amradhi syubhat ila bardin wa tsaljis surur” dari penyakit subhat kepada kebahagian hati.

Sufyan at Tsauri, suatu ketika bertafakur melihat langit, melihat ciptaan Allah Swt, hingga akhirnya dia pun tidak sadarkan diri. Ummu Darda pernah ditanya, “ayyu ibadati Abi Darda aktsar, fa qalat, at tafakur” Ibadah apa yang paling banyak dilakukan oleh Abu Darda, dia berkata: bertafakur.

Sesungguhnya tanda orang yang berakal adalah orang yang selalu berpikir, yang selalu menyibukkan diri dengan memperhatikan lalu berpikir tentang ciptaan Allah Swt. “Inna fi khalqis samawati wal ardh, wakhtilafillaili wan nahar, la ayatil li ulil albab” sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam, adalah tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. “Alladzina yadzkurunallah qiyaman wa ku’udan wa ala junubihim wa yatafakkaruna fi khalqissamawati wal ardh, rabbana ma khalaqta hadza bathilan, subhanaka faqina adzabannar.” Yaitu yang mengingat Allah Swt saat berdiri, saat duduk, saat berbaring, mereka berpikir tentang penciptaan langit dan bumi, lalu mereka berkata; Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptaan semua ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau –lalu pada akhirnya, hasil dari tafakur ini semakin membuat dia takut kepada Allah, yakin kepada kekuasaan Allah, lalu mengantarkan dia untuk berharap—hindarkanlah kami dari api neraka.

Semoga Allah menjadikan kita ahli tafakur. Allah menjadikan kita orang-orang yang semakin dekat kepadanya, semakin sadar dengan kekuasaanNya, semakin yakin dengan hari akhirat, dan semakin percaya dengan janji-janjiNya. Dengan tafakur melihat kekuasaan Allah di alam semesta.

Leave A Reply

Navigate