Pernahkah kita menghitung jumlah kata yang pernah kita ucapkan? Kalau belum, mungkin kita bisa mencoba bersama-sama seperti yang sering dilakukan oleh Yahya bin Mua’adz, seorang ulama dari kalangan tabi’in.
Sampai kini, entah berapa ratus ribu jumlah kata yang kita keluarkan sejak bangun pagi sampai tidur lagi. Begitu mudah lisan ini berucap, bahkan seringkali tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Ketika kata belum keluar, ia masih menjadi tawanan kita. Tapi setelah kata itu keluar, kitalah yang menjadi tawanannya. Kita akan menjadi tawanan kata-kata buruk yang kita ucap tanpa sadar, bahkan kata-kata itu akan menjadi penyebab celaka.
Kita tidak tau, di antara puluhan juta kata yang sudah terlompat dari lisan kita selama hidup ini, mana di antara kata itu yang akan membawa kita ke puncak surga, atau justru di antara kata itu ada yang menyebabkan kita tercampakkan ke jurang neraka. Apalagi kalau sampai berbohong atau menceritakan kejelakan orang lain dengan maksud agar kawan-kawannya tertawa; menyegarkan suasana, atau memancing perhatian orang lain.
Semakin banyak kata-kata yang buruk, semakin buruk pula citra pemilik kata-kata itu di hadapan manusia, semakin berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Habis usia hanya untuk menumpuk omong kosong yang tidak bermanfaat. Kenapa kita tidak memilih untuk diam, saat-saat kata-kata ternyata itu tak berguna dan berpeluang mengundang petaka.
“Sesungguhnya seseorang dapat saja berbicara untuk membuat orang-orang di sekitarnya tertawa, namun dengan kata-katanya itu Allah melemparkannya ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh daripada langit dan bumi, dan sesungguhnya tergelincir lidah itu lebih besar akibatnya daripada tergelincir kaki” (HR. Al-Baihaqi)
Hanya ada dua pilihan: berkata-kata yang baik, atau lebih baik diam. Kata-kata yang baik itupun perlu memperhatikan kapan dan dimana kita mengucapkannnya. Sebab tidak semua kata-kata yang baik bisa diucapkan kapan dan dimana saja semau-mau kita.
Bila kata-kata yang buruk itu hasilnya adalah penyebab bencana, maka kata-kata yang baik dapat mengundang rahmat dan berkah. Kata yang baik mengundang simpati, menarik hati, menumbuhkan rasa sayang dan kedamaian.
Kata-kata dzikir adalah jaminan keuntungan. Hanya dalam waktu 5 menit, seseorang dapat meraih berton-ton pahala, mendapatkan keridhaan dan kecintaan Allah, menjaga waktu agar tak terbuang sia-sia.
Rasulullah tercinta pernah memberikan sebuah pesan singkat yang sangat berharga:
“كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلىَ الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ اْلعَظِيمِ”
“Dua kata yang mudah diucapkan oleh lisan, berat dalam timbangan, sangat dicintai oleh Dzat yang Maha Penyayang,: Subhanallahi wa bihamdihi Subhanallahil ‘Azhim” (HR. Bukhari dan Muslim)
Untuk mengucapkan dua kata agung itu kita perlu waktu tak lebih dari tiga detik. Dalam 1 satu menit kita bisa membaca paling kurang 20 kali. Sangat ringan diucapkan oleh lidah, namun sangat berat dalam timbangan amal. Selama kita mengucapkan dzikir, maka selama itu pula kita berada dalam naungan cinta. Sebab inilah untaian kalimat yang dicintai oleh Allah, bahkan ia adalah kata yang paling dicintai oleh-Nya dibanding segenap kata-kata lainnya.
Rasulullah Saw. pernah bertanya kepada sahabat Abu Dzar, “Maukah aku beritahukan kepadamu kata-kata yang paling disukai oleh Allah? “
“Tentu wahai Rasulullah Saw., beritahukanlah kepadaku apa kata-kata yang paling disukai oleh Allah?” kata Abu Dzar.
“Sesungguhnya kata-kata yang paling disukai oleh Allah adalah Subhanallahi wa bihamdihi (Maha suci Allah dan puji-pujian bagi-Nya).
Subhanallah.. Maha suci Allah. Suci dari kesalahan, suci dari segala maca kekurangan, suci dari segala kealpaan. Alam semesta ciptaan-Nya sangatlah sempurna. Tak ada catat celah sedikitpun dari ciptaan-Nya yang sangat dahsyat dan hebat ini.